Sabtu, 28 Desember 2019

Penentuan Kelahiran Kristus Berdasarkan Kitab Suci

PENENTUAN KELAHIRAN KRISTUS BERDASARKAN KITAB SUCI

Penentuan kelahiran Kristus berdasarkan Kitab Suci, terdiri dari 2 langkah. Pertama adalah menentukan kelahiran St. Yohanes Pembaptis. Langkah berikutnya adalah menggunakan hari kelahiran Yohanes Pembaptis sebagai kunci untuk menentukan hari kelahiran Kristus. Kita dapat menemukan bahwa Kristus lahir di akhir Desember dengan mengamati kali pertama dari tahun itu, yang disebutkan oleh St. Lukas, St. Zakaria melayani di bait Allah. Ini memberikan kepada kita perkiraan tanggal konsepsi St. Yohanes Pembaptis. Dari sini dengan mengikuti kronologis yang diberikan oleh St. Lukas, kita sampai pada akhir Desember sebagai hari kelahiran Yesus.

St. Lukas mengatakan bahwa Zakaria melayani pada ‘rombongan Abia’ (Luk 1:5). Kitab Suci mencatat adanya 8 rombongan di antara 24 rombongan imamat (Neh 12:17). Setiap rombongan imam melayani satu minggu di bait Allah, dua kali setahun. Rombongan Abia melayani di giliran ke-8 dan ke-32 dalam siklus tahunan. Namun bagaimana siklus dimulai?

Josef Heinrich Friedlieb telah dengan meyakinkan menemukan bahwa rombongan imam pertama, Yoyarib, bertugas sepanjang waktu penghancuran Yerusalem pada hari ke-9 pada bulan Yahudi yang disebut bulan Av. ((Josef Heinrich Friedlieb’s Leben J. Christi des Erlösers. Münster, 1887, p. 312.)) Maka masa rombongan imamat Abia (yaitu masa Zakaria bertugas) melayani adalah minggu kedua bulan Yahudi yang disebut Tishri, yaitu minggu yang bertepatan dengan the Day of Atonement, hari ke-10. Di kalender kita, the Day of Atonement dapat jatuh di hari apa saja dari tanggal 22 September sampai dengan 8 Oktober.

Dikatakan dalam Injil bahwa Elisabet mengandung ‘beberapa lama kemudian/ after these days‘ setelah masa pelayanan Zakaria (lih. Luk 1:24). Maka konsepsi St. Yohanes Pembaptis dapat terjadi sekitar akhir September, sehingga menempatkan kelahiran St. Yohanes Pembaptis  di akhir Juni, meneguhkan perayaan Gereja Katolik tentang Kelahiran St. Yohanes Pembaptis tanggal 24 Juni.

Buku Protoevangelium of James dari abad ke-2 menggambarkan St. Zakaria sebagai imam besar dan memasuki tempat maha kudus…. dan ini mengasosiasikan dia dengan the Day of Atonement, yang jatuh di tanggal 10 bulan Tishri (kira-kira akhir September). Segera setelah menerima pesan dari malaikat Gabriel, Zakaria dan Elizabet mengandung Yohanes Pembaptis. Perhitungan empat puluh minggu setelahnya, menempatkan kelahiran Yohanes Pembaptis di akhir Juni, meneguhkan perayaan Gereja Katolik tentang Kelahiran St. Yohanes Pembaptis tanggal 24 Juni.

Selanjutnya… dikatakan bahwa sesaat setelah Perawan Maria mengandung Kristus, ia pergi untuk mengunjungi Elisabet yang sedang mengandung di bulan yang ke-6. Artinya umur Yohanes Pembaptis 6 bulan lebih tua daripada Yesus Kristus (lih. Luk 1:24-27, 36). Jika 6 bulan ditambahkan kepada 24 Juni maka diperoleh 24-25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus. Jika tanggal 25 Desember dikurangi 9 bulan, diperoleh hari peringatan Kabar Gembira (Annunciation) yaitu tanggal 25 Maret… Maka jika Yohanes Pembaptis dikandung segera setelah the Day of Atonement, maka tepatlah penanggalan Gereja Katolik, yaitu bahwa kelahiran Yesus jatuh sekitar tanggal 25 Desember.

Selain itu Tradisi Suci juga meneguhkan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Tuhan Yesus. Sumber dari Tradisi tersebut adalah kesaksian Bunda Maria sendiri. Sebagai ibu tentu ia mengetahui dengan rinci tentang kelahiran anaknya [dan ini yang diteruskan oleh para rasul dan para penerus mereka]. Bunda Maria pasti mengingat secara detail kelahiran Yesus ini yang begitu istimewa, yang dikandung tidak dari benih laki-laki, yang kelahirannya diwartakan oleh para malaikat, lahir secara mukjizat dan dikunjungi oleh para majus.

Sebagaimana umum bahwa orang bertanya kepada orangtua yang membawa bayi akan umur bayinya, demikian juga orang saat itu akan bertanya, “berapa umur anakmu?” kepada Bunda Maria. Maka tanggal kelahiran Yesus 25 Desember (24 Desember tengah malam), akan sudah diketahui sejak abad pertama. Para Rasul pasti akan sudah menanyakan tentang hal ini dan baik St. Matius dan Lukas mencatatnya bagi kita. Singkatnya, adalah sesuatu yang masuk akal jika para jemaat perdana telah mengetahui dan merayakan kelahiran Yesus, dengan mengambil sumber keterangan dari ibu-Nya.

Kesaksian Para Bapa Gereja Tentang Tanggal Kelahiran Kristus

Kesaksian berikutnya adalah dari para Bapa Gereja abad-abad awal (abad 1 sampai awal abad 4) di masa sebelum pertobatan Kaisar Konstantin dan kerajaan Romawi. Para Bapa Gereja tersebut telah mengklaim tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus.

Catatan yang paling awal tentang hal ini adalah dari Paus Telesphorus (yang menjadi Paus dari tahun 126-137), yang menentukan tradisi Misa Tengah malam pada Malam Natal… Kita juga membaca perkataan Teofilus (115-181) seorang Uskup Kaisarea di Palestina: “Kita harus merayakan kelahiran Tuhan kita pada hari di mana tanggal 25 Desember harus terjadi.” ((Magdeburgenses, Cent. 2. c. 6. Hospinian, De origine Festorum Christianorum.))

Tak lama kemudian di abad kedua, St. Hippolytus (170-240) menulis demikian: “Kedatangan pertama Tuhan kita di dalam daging terjadi ketika Ia dilahirkan di Betlehem, di tanggal 25 Desember, pada hari Rabu, ketika Kaisar Agustus memimpin di tahun ke-42, …. Ia [Kristus] menderita di umur tiga puluh tiga, tanggal 25 Maret, hari Jumat, di tahun ke-18 Kaisar Tiberius, ketika Rufus dan Roubellion menjadi konsul. ((St. Hippolytus of Rome, Commentary on Daniel.))

Dengan demikian tanggal 25 Maret menjadi signifikan, karena menandai hari kematian Kristus (25 Maret sesuai dengan bulan Ibrani Nisan 14- tanggal penyaliban Yesus. Kristus, sebagai manusia sempurna- dipercaya mengalami konsepsi dan kematian pada hari yang sama, yaitu tanggal 25 Maret…Maka tanggal 25 Maret dianggap istimewa dalam tradisi awal Kristiani. 25 Maret ditambah 9 bulan, membawa kita kepada tanggal 25 Desember, yaitu kelahiran Kristus di Betlehem.

St. Agustinus meneguhkan tradisi 25 Maret sebagai konsepsi Sang Mesias dan 25 Desember sebagai hari kelahiran-Nya: “Sebab Kristus dipercaya telah dikandung di tanggal 25 Maret, di hari yang sama saat Ia menderita; sehingga rahim Sang Perawan yang di dalamnya Ia dikandung, di mana tak seorang lain pun dikandung, sesuai dengan kubur baru itu di mana Ia dikubur, di mana tak seorang pun pernah dikuburkan di sana, baik sebelumnya maupun sesudahnya. Tetapi Ia telah lahir, menurut tradisi, di tanggal 25 Desember.” ((St. Augustine, De Trinitate, 4, 5.))

Di sekitar tahun 400, St. Agustinus juga telah mencatat bagaimana kaum skismatik Donatist merayakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Kristus, tetapi mereka menolak merayakan Epifani di tanggal 6 Januari, sebab mereka menganggapnya sebagai perayaan baru tanpa dasar dari Tradisi Apostolik. Skisma Donatist berasal dari tahun 311, dan ini mengindikasikan bahwa Gereja Latin telah merayakan hari Natal pada tanggal 25 Desember sebelum tahun 311. Apapun kasusnya, perayaan liturgis kelahiran Kristus telah diperingati di Roma pada tanggal 25 Desember, jauh sebelum Kristianitas dilegalkan dan jauh sebelum pencatatan terawal dari perayaan pagan bagi kelahiran Sang Matahari yang tak Terkalahkan. Untuk alasan ini, adalah masuk akal dan benar untuk menganggap bahwa Kristus benar telah dilahirkan di tanggal 25 Desember, dan wafat dan bangkit di bulan Maret, sekitar tahun 33.

Sedangkan tentang perhitungan tahun kelahiran Yesus, menurut Paus Benediktus XVI dalam bukunya Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives, adalah sekitar tahun 7-6 BC. Paus mengutip pandangan seorang astronomer Wina, Ferrari d’ Occhieppo, yang memperkirakan terjadinya konjungsi planet Yupiter dan Saturnus yang terjadi di tahun 7-6 BC (yang menghasilkan cahaya bintang yang terang di Betlehem), yang dipercaya sebagai tahun sesungguhnya kelahiran Tuhan Yesus. ((Pope Benedictus XVI,  Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives, kindle version, loc. 1097-1101))

Sumber: http://www.katolisitas.org/apakah-yesus-lahir-tanggal-25-desember/

 ✥ Instaurare Omnia in Christo ✥

Kamis, 26 Desember 2019

Doa Yang Tak Pernah Sia-Sia

Ada seorang bapak muda, dia dulu mengenal Kristus saat remaja dan akhirnya menyerahkan dirinya untuk dibaptis. Setelah sekian lama hidup diantara orang-orang yang tidak katolik, dia bertemu dengan wanita yang dicintainya dan menikah diluar Gereja. Dia baru mengetahui bahwa hal itu membuat dia tidak bisa menerima komuni. Maka dia setiap hari ikut misa disuatu gereja dengan tempat duduk yang sama tanpa menyambut komuni. Setelah puluhan tahun betapa kagetnya ia ketika mendapat undangan dari mertuanya untuk ikut mendampingi mertua sekeluarga saat dibaptis.Air matanya mengalir selama misa pagi,  begitu besar kasih Allah dan di jawab dengan karunia yang lebih besar dari yang ia minta. Dan satu tahun berikutnya istri dan anaknya juga dibaptis sekaligus pembaharuan perkawinan. Dan dia merasakan karunia terindah bisa menerima Tubuh dan Darah Kristus setelah puluhan tahun dirindukannya. 
Sudahkah kita (terutama bapak,  Ibu,  kakek,  nenek) mendoakan orang-orang yang kita cintai agar menjadi murid Kristus?
Tuhan Memberkati. 

Rabu, 25 Desember 2019

Gereja Katolik

APAKAH GEREJA PERDANA ITU GEREJA KATOLIK ?
Oleh: Jim Blackburn

Orang Protestan seringkali menyatakan bahwa Gereja yang Yesus dirikan adalah “Gereja Kristen,” bukan Gereja Katolik. Adapun bukti Alkitabiah yang dikutip suntuk pernyataan mereka ditemukan dalam Kisah Para Rasul: “Lalu pergilah Barnabas ke Tarsus untuk mencari Saulus; dan setelah bertemu dengan dia, ia membawanya ke Antiokhia. Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen” (Kisah Para Rasul 11:25-26).

Banyak orang Kristen modern mengira bahwa Gereja Katolik didirikan hanya oleh manusia, jauh di kemudian hari dalam sejarah Kekristenan. 

Tidak diragukan lagi, para murid dalam Gereja perdana dikenal sebagai Kristen. Namun, apakah ini berarti Gereja mereka bukan Gereja Katolik? Sedikit studi sejarah tentang Gereja di Antiokhia menunjukkan bahwa Gereja Kristen perdana ini memanglah Gereja Katolik.

Satu hal yang dilakukan Petrus sebelum dia menuju ke Roma adalah mendirikan gereja di Antiokhia, yang pada saat itu merupakan kota terbesar ketiga di Kekaisaran Romawi. Petrus menahbiskan seorang murid yang bernama Evodius ke wilayah keuskupan itu dan mengangkat dia sebagai Uskup Antiokhia. Evodius dipercaya oleh kebanyakan orang sebagai salah seorang dari tujuh puluh murid yang ditunjuk Yesus untuk mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya untuk mengajar pada perjalanan misinya yang kedua (lihat Lukas 10:1). Pada masa Evodius menjabat sebagai Uskup Antiokhia, para murid untuk pertama kalinya disebut Kristen. Namun, ini bukanlah akhir dari kisahnya!

Sementara Paulus mengajar orang-orang Kristen di Antiokhia selama Evodius menjabat sebagai Uskup, seorang murid lainnya yang masih muda naik pangkat. Namanya Ignatius, yang kemudian dikenal sebagai St. Ignatius dari Antiokhia, seorang martir Kristen mula-mula. Ignatius merupakan seorang murid dari Yohanes. Adapun ada sebuah legenda mengatakan bahwa di masa kanak-kanaknya, Ignatius ialah seorang anak yang diambil Yesus dan memeluknya dalam ayat yang dicatat oleh Markus:

Lalu Yesus duduk dan memanggil kedua belas murid itu. Kata-Nya kepada mereka: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Maka Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, kemudian Ia memeluk anak itu dan berkata kepada mereka: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Markus 9:35-37)

Adanya legenda ini menunjukkan suatu penghargaan besar atas kenangan mengenai Ignatius di abad-abad awal Gereja.
Di Antiokhia, Ignatius ditahbiskan oleh Paulus yang di kemudian hari dia diangkat menjadi Uskup Antiokhia oleh Petrus untuk menggantikan Evodius. Dia memegang jabatan itu selama bertahun-tahun sebelum dia menjadi martir di Roma, beliau menulis beberapa surat kepada umat Kristen di berbagai wilayah, yang isinya menguraikan teologi Kristen. Secara khusus beliau menekankan persatuan umat Kristen (lihat Yohanes 17) dan beliau dikenal sebagai seorang Bapa Gereja Apostolik.

Dalam salah satu suratnya (kepada umat Kristen di Smyrna), beliau menulis, “Di mana Kristus Yesus berada, di sana ada Gereja Katolik.” Inilah catatan tertulis paling awal mengenai istilah “Gereja Katolik” (ditulis sekitar tahun 107 M), namun Ignatius sepertinya menggunakan istilah itu dengan anggapan bahwa orang-orang Kristen pada zaman itu sudah akrab dengan sebutan itu. Dalam kata lain, meskipun tulisan Ignatius itu merupakan tulisan yang paling awal yang menggunakan istilah itu, namun kemungkinan istilah itu sudah digunakan untuk waktu yang cukup lama, yang berasal dari zaman para rasul.

Istilah “Gereja Katolik” (bahasa Yunani: katholike ekklesia) secara luas bermakna “persekutuan umat universal,” dan Ignatius menggunakannya ketika menulis surat untuk kepada umat Kristen di Smyrna sebagai istilah yang erat hubungannya dengan persatuan. Beliau menasihati umat Kristen di sana untuk menaati uskup mereka sama seperti jemaat Kristen universal yang menaati Kristus. Beliau dengan jelas membedakan istilah “Kristen” dan “Gereja Katolik,” para murid Kristus adalah Kristen, umat Kristen universal adalah Gereja Katolik.

Beberapa orang mungkin menyatakan bahwa Ignatius bermaksud menggunakan istilah “Gereja Katolik” bukan sebagai nama Gereja yang spesifik, namun sebagai sebutan umum yang merujuk pada persekutuan umat Kristen dalam skala yang lebih besar. Jika demikian, maka persekutuan umat universal ini belum mempunyai nama yang pasti, tapi “Gereja Katolik” terus menerus digunakan sampai menjadi nama yang pasti sebagai satu Gereja yang didirikan Kristus atas St. Petrus dan para penggantinya.

Maka dari itu, kita bisa melihat bahwa orang Kristen di Antiokhia adalah bagian Gereja Katolik. Mereka memang para murid Kristen, namun mereka juga adalah Katolik. Dengan rantai suksesi yang tidak terputus di Antiokhia, sejak dari Petrus (yang diutus oleh Kristus) diteruskan kepada Evodius kemudian diteruskan lagi kepada Ignatius. Maka jika ada orang Kristen saat ini ingin mengidentifikasi umat Kristen yang Alkitabiah pada abad pertama seperti yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 11, maka secara logis harus mengidetifikasikan orang Kristen yang sama itu sama dengan persekutuan umat Kristen universal yaitu Gereja Katolik.

Ref:
https://terangiman.com/2019/10/21/apakah-gereja-perdana-itu-gereja-katolik/?fbclid=IwAR3ajuIZQILDT_YZK_J6rgxPT7YkQy23GWVQFlp8VjCDv6DtgYOtRMu-SZo

Minggu, 08 Desember 2019

Apakah Kitab Suci Saja Cukup?

Apakah Sola Scriptura/ “Kitab Suci saja” cukup?

Pendahuluan
Dalam diskusi antara umat Katolik dan non-Katolik perihal Kitab Suci, sering timbul perkataan demikian, “Mari setuju dulu bahwa Kitab Suci adalah pegangan satu-satunya dalam iman kita”. Seharusnya, jika kita mendengar pernyataan sedemikian, kita harus menjawab, “Tidak”. Sebab Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Pandangan yang mengutamakan “hanya Kitab Suci saja” (Sola Scriptura) atau Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman, adalah pandangan yang menolak Tradisi Suci dan otoritas Gereja, dan hal ini tidak sesuai dengan pengajaran Kristus dan para rasul.

Apa itu Sola Scriptura?
Sola Scriptura adalah doktrin Protestan yang mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “sumber otoritas yang terutama dan absolut, keputusan akhir dalam menentukan, untuk semua doktrin dan praktek (iman dan moral)” dan bahwa “Kitab suci, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak ada lagi yang lain- yang diperlukan untuk iman dan moral.” ((diterjemahkan dari Geisler, Norman L. dan MacKenzie, Ralph E., Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences (Grand Rapids: Baker, 1995) ))

Apakah yang ajaran Gereja Katolik dalam hal ini?
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Wahyu Ilahi tidak saja disampaikan kepada kita dengan cara tertulis sebagai pembicaraan Allah (speech of God) dalam Kitab Suci, tetapi juga dalam bentuk Sabda Allah yang disampaikan secara lisan dari Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul. ((lih. Katekismus Gereja Katolik no. 81, Dei Verbum 9))Pengajaran yang bersumber dari ajaran lisan ini disebut sebagai Tradisi Suci, kemudian juga dituliskan dan diturunkan kepada para penerus Rasul. Maka karena sumbernya sama, maka keduanya berhubungan erat sekali, terpadu, tidak mungkin bertentangan, karena mengalir dari sumber yang sama dan mengarah ke tujuan yang sama yaitu Tuhan sendiri. ((lih. Katekismus Gereja Katolik no. 80, 81, Dei Verbum 9)).

Selanjutnya dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik demikian:

KGK 82    Dengan demikian maka Gereja yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya [baik Tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.” (Konsili Vatikan II, Dei Verbum 9).

Dengan demikian, kita ketahui Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa Kitab Suci “lebih tinggi/lebih penting” daripada Tradisi Suci, melainkan menekankan kesatuan antara keduanya, yaitu Kitab Suci dan Tradisi Suci pada tingkat yang sama, karena keduanya berasal dari Tuhan dan mengarahkan umat beriman kembali kepada Tuhan. Gereja Katolik tidak “merendahkan” Kitab Suci dalam hal ini, melainkan hanya menyampaikan bahwa Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman iman karena memang Tuhan menyampaikan Sabda-Nya tidak hanya melalui Kitab Suci.

Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci
Jika “Sola Scriptura” adalah doktrin yang benar, tentunya Kitab Suci harus secara eksplisit mengatakannya, namun tidak demikian yang kita baca dari Kitab Suci:

1. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya pengajaran lisan para rasul.
Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, dan berabad- abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan.
Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga 1 Kor 11:2)

2. Kitab Suci mengatakan bahwa tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.
“Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25)
Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai otoritas untuk menginterpretasikannya (lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16). Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Alkitab yang memang sulit untuk dicerna, dan ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Alkitab untuk menyanggah kebenaran iman Kristen, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah sungguh- sungguh Tuhan.

4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya (lih. Mat 16:13- 20; 18:18; Luk 10:16). Gereja akan bertahan sampai pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat 16:18; 28:19-20; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ wewenangan mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam jemaat, contohnya dalam hal sunat. Pada saat terjadinya krisis itu sekitar tahun 40-an, kitab PB belum terbentuk, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat ini. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci PL yang mengharuskan sunat (lih. Kej 17, Kel12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam PB, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15) Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/ Firman Tuhan. Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1 Tes 2:13 Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah (“when you received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan ini adalah Tradisi Suci.

Sola Scriptura tidak sesuai dengan sejarah Gereja
Selanjutnya, jangan lupa bahwa Tradisi Suci sudah ada lebih dahulu dari Kitab Suci, dan yang melahirkan Kitab Suci adalah Tradisi Suci melalui Magisterium Gereja Katolik.

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci, yaitu pengajaran iman Kristiani yang berasal dari pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Silakan anda membaca bagaimana terbentuknya Kitab Suci yang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus I pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthage (397) dan Chalcedon (451) seperti yang pernah ditulis di artikel ini, silakan klik. Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.

Sola Scriptura membawa perpecahan Gereja
Sering kita melihat bahwa perpecahan gereja diakibatkan karena keinginan untuk menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci secara pribadi. Sebagai contoh Martin Luther, John Calvin dan Ulrich Zwingli mempunyai banyak perbedaan pandangan dalam hal Ekaristi Kudus dalam menginterpretasikan perikop Yoh 6, hal Pengakuan Dosa, dll. Pendapat manakah yang benar dari para pendiri ini, yang masing-masing mendasarkan ajarannya hanya berdasarkan Alkitab? Belum lagi dalam hal- hal lain seperti apakah Pembaptisan itu perlu atau hanya simbol saja, hal Pembaptisan bayi, Pembaptisan dalam nama Allah Trinitas atau dalam nama Yesus saja, dan seterusnya. Tiap-tiap kelompok yang bertentangan mengklaim bahwa Alkitab saja cukup jelas untuk menentukannya, namun terjadi bermacam- macam interpretasi. Maka secara fakta harus diakui bahwa Alkitab saja tidak cukup jelas mengajarkannya, dan diperlukan peran otoritas Magisterium untuk menginterpretasikannya.

Hal ini mirip dengan yang terjadi di setiap negara, yang mempunyai konstitusi, namun juga mempunyai kekuasaan yudikatif untuk menginterpretasikannya dengan benar. Jika setiap warga dapat mengartikan sendiri konstitusi ini, tanpa adanya kuasa otoritas yang menjaga dan melestarikannya, maka dapat terjadi kekacauan. Tuhan pastilah lebih bijaksana daripada para bapa pendiri negara dalam hal ini. Ia tidak mungkin hanya meninggalkan dokumen tertulis sebagai pedoman tanpa otoritas untuk menjaga dan menginterpretasikannya dengan benar.

Kalau memang “hanya Alkitab” saja cukup, dan dapat membawa persatuan Gereja, bersama-sama kita perlu merenungkan, kenapa setelah revolusi Gereja oleh Martin Luther di abad pertengahan, gereja menjadi terpecah belah sehingga sampai saat ini ada sekitar 28,000 denominasi? Seharusnya kalau memang kembali kepada kemurnian jemaat awal, katanya hanya berdasarkan Alkitab, maka Gereja seharusnya bersatu dan bukannya tercerai berai. Hal ini sungguh bertentangan dengan pesan Yesus terakhir yang menginginkan seluruh dunia melihat ada kesatuan di dalam tubuh Kristus, sehingga dunia dapat tahu bahwa kita semua adalah pengikut Kristus (lih Yoh 17). Dan inilah yang menjadi kerinduan Gereja Katolik untuk menyatukan seluruh umat Allah, sebagaimana tertuang dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio).

Tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
Jika kita telah mengetahui bahwa Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Alkitab itu sendiri, maka kita dapat melihat pula bahwa sebenarnya Kristus telah menentukan tiga pilar kebenaran yang tidak terpisahkan yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Silakan membaca lebih lanjut di artikel ini, Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan, bagian 3, silakan klik.

Ayat yang umumnya digunakan untuk menyatakan pandangan Sola Scriptura
Sekarang mari kita melihat kepada ayat-ayat yang sering digunakan sebagai dasar Sola Scriptura ((disarikan dari Fr. Frank Chacon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, (Farmington: San Juan Catholic Seminars, 2003), hl. 17-19)):

1. 2 Tim 3:16-17  “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Ada banyak orang menginterpretasikan bahwa karena ayat ini, maka mereka hanya membutuhkan Kitab suci untuk menjadi umat Kristen yang baik. Padahal pada saat surat kepada Timotius ini ditulis, kanon Kitab Suci belum ada. Jadi di kalangan jemaat masih beredar berbagai tulisan, dan jemaat tidak dapat tahu dengan pasti, mana tulisan yang “diilhami oleh Allah”, dan mana yang tidak.

Lihatlah juga bahwa “sesuatu yang bermanfaat” itu bukan berarti hanya satu-satunya yang kita perlukan, atau segalanya yang kita butuhkan. Sesuatu dapat bermanfaat, tetapi tidak menjadi satu-satunya yang kita butuhkan. Misalnya, cahaya matahari diperlukan untuk tanaman agar tumbuh, tetapi tanaman juga memerlukan air dan tanah agar dapat bertumbuh dengan baik.

Juga perkataan “diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” juga tidak dapat dijadikan dasar bahwa Kitab Suci secara total mencukupi semuanya. Rasul Paulus pada 2 Tim 2:19-21 juga menggunakan frasa yang sama, pada waktu mengatakan, “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.” (pan ergon agathon- dalam bahasa Yunani). Jika logika yang sama dipakai untuk mengartikan ayat ini, maka pandangan tersebut mengatakan bahwa perbuatan menyucikan diri adalah “cukup”, tanpa kasih karunia, iman dan pertobatan, dan ini adalah kesimpulan yang keliru.

2. Ul 4:2 “Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu menguranginya….”

Ada orang yang berpendapat, dengan adanya ayat ini maka Kitab Suci sudah cukup, dan segala “tambahan” di luar Kitab Suci berarti tidak diilhami Tuhan. Namun jika logika ini yang dipakai, maka semua kitab dalam Kitab Suci selain kitab Ulangan dianggap sebagai “tambahan” Wahyu Allah yang hanya sampai pada kitab Ulangan. Dan tentu ini tidak benar, karena Inkarnasi Kristus, yaitu panggenapan Wahyu Allah tersebut, malah ada berabad- abad setelah kitab Ulangan ditulis.

3. Mat 4:1-11 Tiga kali Yesus menanggapi pencobaan Iblis dengan Kitab Suci, “Ada tertulis….”

Ada yang berpendapat, bahwa dari ayat ini Kristus mengacu hanya kepada Kitab Suci, dan tidak kepada Tradisi Suci atau Gereja. Namun sebenarnya Yesus mengatakan, “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (ay.4) Namun Kitab Suci juga mengatakan bahwa tidak semua perkataan Tuhan tercantum dalam Kitab Suci, sebab banyak di antaranya juga sampai kepada kita lewat pengajaran lisan (lih. Yoh 21:25; Kis 20:27; 2 Tes 2:14-15, 3:6; 2 Tim 2:2). Dan jangan kita lupa, bahwa Kristus sendiri adalah Sabda Allah (Yoh 1:1, 14) yang tidak dapat dibatasi oleh tulisan dan lembaran-lembaran Kitab Suci.

Maka di sini Yesus tidak sedang mengajarkan Sola Scriptura, tetapi sedang mengajarkan kita untuk berpegang pada semua pengajaran yang dikatakan-Nya, tidak hanya yang tertulis di Kitab Suci. Lagipula jangan lupa, Iblispun mengutip Kitab Suci untuk maksud yang tentu saja keliru dan jahat. Jadi kita harus memahami Kitab Suci dan menginterpretasikannya dengan benar. Ingatlah pesan Rasul Petrus pada saat mengomentari surat Rasul Paulus, “Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.” (2 Pet 3:16)

4. Mat 15:3 “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (lih. Mrk 7:7-9, Kol 2:8)

Di sini kita melihat tradisi/ paradosis yang dikecam oleh Yesus dan Rasul Paulus adalah tradisi manusia yang bertentangan dengan hukum-hukum dan perintah-perintah Tuhan. Mereka tidak sedang mengecam semua tradisi/ paradosis, sebab Rasul Paulus mengatakan juga demikian,

“Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran [tradisi/ paradosis] yang kuteruskan kepadamu.” (1 Kor 11:2)

“Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran [tradisi/ paradosis] yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis. (2 Tes 2:15)

5. Why 22: 18-19: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.”

Ada pula yang mengartikan ayat ini dengan mengatakan bahwa Gereja Katolik menambahkan Tradisi Suci kepada Kitab Suci, sehingga ini tidak benar. Namun pada ayat ini yang dimaksud dengan “kitab ini” adalah kitab Wahyu itu sendiri, dan bukan Kitab Suci secara keseluruhan. “Kitab ini” juga mengacu kepada “scroll“/ gulungan naskah di mana kitab dituliskan. Maka perintah ini mengacu kepada larangan agar jangan mengadakan perubahan pada salinan teks kitab Wahyu ini, dan ini juga berlaku pada kitab-kitab lainnya.

Kesimpulan
“Sola Scriptura” atau Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman, bukanlah merupakan pengajaran yang bersumber dari Kitab Suci. Kitab Suci adalah sebagian dari Tradisi Suci Gereja, sehingga Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi Suci secara keseluruhan, yang dijaga dan dilestarikan oleh otoritas Magisterium Gereja Katolik. Kristus mendirikan Gereja untuk mengajar, menyucikan dan memimpin umat manusia dalam nama-Nya, sampai kepada akhir jaman. Maka jika kita menolak otoritas dari Tuhan ini, yang diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, maka sesungguhnya kita menolak Kristus (lih. Luk 10:16). Gereja Katolik menerima Kitab Suci sebagai salah satu pedoman iman (lihatlah kepada Katekismus dan hasil- hasil Konsili yang mengutip banyak sekali ayat Kitab Suci sebagai landasan ajarannya), dan karenanya, menerima otoritas Kitab Suci sebab Kitab Suci merupakan Sabda Allah. Namun umat Katolik tidak dapat menerima Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman (Sola Scriptura), terutama karena Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Selain itu, Sola Scriptura juga bertentangan dengan sejarah, karena pada faktanya Gereja-lah yang menentukan kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Kitab Suci, dan kitab-kitab mana yang tidak. Akhirnya, Sola Scriptura juga bertentangan dengan akal sehat dan membawa perpecahan, karena bahkan di kehidupan sehari-haripun, kita mengetahui bahwa setiap peraturan tertulis (contohnya konstitusi negara) memerlukan otoritas yang menjaga, menjamin dan menginterpretasikannya dengan benar. Jika tidak, tentu terjadi kekacauan, karena tiap pribadi dapat mempunyai pandangan yang berbeda. Dan ini sungguh telah terbukti dengan adanya sekitar 28.000 jumlah denominasi gereja Protestan. Jika kita memakai prinsip yang diajarkan Kristus untuk menilai apakah pohon itu baik atau tidak dari buahnya (Mat 12:33, Luk 6:44), maka kita akan mengetahui apakah ajaran Sola Scriptura itu baik atau tidak.

Semoga Roh Kudus sendiri menerangi kita untuk mengetahui kebenaran ini, bahwa memang Kitab Suci adalah sangat perlu dan sangat penting untuk menuntun dan menumbuhkan iman kita, namun Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman iman kita. Sebab Tuhan Yesus telah memberikan kepada kita Magisterium Gereja yang menyampaikan juga ajaran lisan dari-Nya dan para rasul -yaitu Tradisi Suci, dan Magisterium ini dengan setia menginterpretasikan semua ajaran itu dalam terang Roh Kudus sesuai dengan ajaran Kristus dan para rasul.

Dikutip dari:
http://www.katolisitas.org/apakah-sola-scriptura-kitab-suci-saja-cukup/

Kalender Masehi ( Kalender Gregorian)

Tahukah anda sejarah kalender Gregorian?

Negara terbaru yang menggunakan kalender Masehi adalah Arab saudi ini melengkapi prestasi Kalender yang paling banyak dipakai diseluruh dunia yang tidak lain adalah kalender Gregorian. Kalender Gregorian merupakan salah satu prestasi gemilang Gereja Katolik, dan bukti bahwa Gereja tidak menentang atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Nah, bagaimana sejarah kalender yang paling menjadi acuan di seluruh dunia ini?

PERMASALAHAN

Sejak zaman prasejarah manusia membuat perhitungan waktu dengan memanfaatkan pergerakan benda-benda langit, terutama matahari dan bulan.

Masalahnya, waktu perputaran matahari dan bulan ini berbeda. Beragam bangsa dan kebudayaan telah mencoba menciptakan kalender yang memasukkan baik perhitungan matahari maupun perhitungan bulan ke dalam sistem kalender mereka, namun hal ini tentu menjadi sebuah tantangan besar.

KALENDER JULIAN

Kalender pertama yang berhasil memecahkan masalah di atas adalah kalender Julian, yang diperkenalkan oleh Kaisar Julius (Julius Caesar) pada tahun 45 SM. Kalender ini diciptakan untuk menggantikan kalender Romawi lama yang berdasarkan pada perhitungan bulan dan makin lama makin tidak akurat.

Kaisar Julius, dengan dibantu oleh ahli astronomi bernama Sosigenes, membuat kalender matahari dengan panjang bulan yang sama. Tahun Julian pertama dimulai pada tanggal 1 Januari 46 SM, bertepatan dengan ulang tahun ke-708 dari kota Roma.

Panjang rata-rata satu tahun kalender Julian adalah 365,25 hari. Setiap 4 tahun sekali, disisipkan satu hari kabisat untuk menjaga keharmonisan antara tahun kalender dan tahun ekuator. Kaisar Julius menetapkan bahwa bulan Januari, Maret, Mei, Juli, September, dan November memiliki 31 hari, sementara bulan lainnya 30 hari, kecuali Februari, yang pada tahun-tahun biasa memiliki 29 hari dan pada tahun kabisat memiliki 30 hari.

Penerus Kaisar Julius, yaitu Kaisar Augustus, dalam usahanya menyandingkan diri dengan sang pendahulu yang hebat, menambahkan 1 hari pada bulan Agustus, sehingga bulan Juli dan Agustus sama-sama berjumlah 31 hari. Tambahan 1 hari ini diambil dari bulan Februari. Dan untuk menghindari bulan berjumlah 31 hari berturut-turut, bulan September dan November dijadikan 30 hari, dan Oktober dan Desember menjadi 31 hari.

KEKELIRUAN KALENDER JULIAN

Kalender Julian menjadi kalender acuan yang digunakan sepanjang sejarah Kekaisaran Romawi. Gereja Katolik juga kemudian mengadopsinya sebagai acuan untuk kalender liturgi selama kurang-lebih 15 abad.

Hari Raya Paskah ditempatkan pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama yang pertama setelah ekuinoks musim semi (vernal equinox). Ekuinoks adalah waktu di mana orbit dan posisi sumbu bumi sedemikian rupa sehingga matahari melintasi pertengahan khatulistiwa persis; ini menyebabkan satu hari di mana panjang siang dan malam menjadi sama bagi belahan bumi utara maupun selatan. Ini juga adalah waktu di mana sumbu bumi berada tegak lurus. Ada 2 kali ekuinoks dalam setahun, yaitu ekuinoks musim semi pada bulan Maret (sekitar tanggal 20) dan ekuinoks musim gugur pada bulan September (sekitar tanggal 22).

Tentunya, perhitungan ekuinoks ini sangat penting, karena jika salah, maka Hari Raya Paskah dirayakan pada hari yang salah, dan keliru jugalah penempatan hari-hari raya Gereja lainnya.

Seiring waktu, tampaklah bahwa kalender Julian ini ternyata belum akurat. Satu tahun kalender Julian ternyata lebih panjang 11 menit dan 14 detik daripada yang seharusnya. Sehingga, setiap 130 tahun, hari ekuinoks mundur 1 hari. Sebagai contoh, saat kalender Julian pertama kali diperkenalkan, ekuinoks jatuh pada tanggal 25 Maret. Pada tahun 325 M saat Konsili Nikea, ekuinoks sudah mundur ke tanggal 21 Maret. Pada tahun 1500-an, ekuinoks sudah mundur sebanyak 10 hari.

Perbedaan 10 hari ini sangat penting tidak hanya bagi perayaan Gereja, namun juga bagi navigasi dan pertanian, sebab para nelayan, pedagang, dan petani menggantungkan mata pencaharian mereka pada perubahan musim.

GEREJA MENGAMBIL TINDAKAN

Pada akhir abad 15, petinggi-petinggi Gereja menyetujui bahwa kesalahan merayakan Hari Raya Paskah merupakan sebuah skandal.

Seorang astronom dan doktor dari Italia, Luigi Lilius, mengusulkan sebuah solusi di mana 10 hari dihilangkan dari kalender, untuk memperbaiki kesalahan kalender Julian. Lilius mengusulkan agar koreksi ini dilakukan secara bertahap. Adik Lilius mempresentasikan teori ini kepada Paus Gregorius XIII.

Paus Gregorius XIII bertekad untuk menyelesaikan masalah kalender secara definitif. Maka setelah mendengarkan teori dari adik Lilius, Paus menugaskan Christoph Clavius, seorang imam Jesuit yang juga ahli matematika dan astronomi, untuk mulai melakukan riset. Ide-ide dasar dari Lilius digunakan, namun Clavius menyatakan bahwa pengurangan 10 hari tersebut harus diimplementasikan sepenuhnya sesegera mungkin, bukan bertahap. Hasil penelitian Clavius dipresentasikan kepada Paus dan kemudian diresmikan dalam surat Inter Gravissimus, tertanggal 24 Februari 1582.

KALENDER GREGORIAN

Kalender Gregorian diimplementasikan pada tanggal 4 Oktober 1582 menurut kalender Julian. Karena 10 hari dihilangkan dari kalender tersebut, maka tanggal 4 Oktober 1582 langsung diikuti dengan tanggal 15 Oktober 1582 menurut kalender Gregorian.

Sri Paus sebenarnya tidak pernah mewajibkan bangsa dan kerajaan manapun untuk menggunakan kalender yang baru ini. Namun, akurasi dan manfaat kalender Gregorian segera dirasakan, sehingga bangsa-bangsa lain dengan cepat meresmikan penggunaan kalender ini.

KALENDER GREGORIAN DAN GEREJA-GEREJA YANG TERPECAH

Kalender Gregorian tidak diterima secepat yang diharapkan, karena pada saat itu sudah terjadi Reformasi Protestan (tahun 1517) yang memecah belah Gereja. Banyak negara pusat gerakan Reformasi seperti Jerman dan Prussia yang menerima kalender ini dengan penuh kecurigaan. Dunia Protestan baru secara luas menerimanya sekitar tahun 1700-an.

Gereja Anglikan di Inggris juga awalnya menolak kalender baru karena dianggap sebagai bentuk misi Gereja Katolik. Maka selama 150 tahun, bangsa Inggris tertinggal 10-11 hari dalam perhitungan waktunya. Akibatnya mereka merayakan Tahun Baru bukan pada tanggal 1 Januari, melainkan 25 Maret. Kalender Gregorian baru diimplementasikan di Inggris pada tanggal 2 September 1752, dan hari berikutnya dinyatakan sebagai tanggal 14 September 1782.

Rusia, yang mayoritas umat Gereja Ortodoks, baru menerima kalender Gregorian sebagai kalender negara pada tahun 1917 setelah Revolusi Rusia. Sedangkan Gereja Ortodoks sendiri sampai sekarang masih menggunakan kalender Julian untuk perhitungan hari rayanya.

*

Demikianlah kisah sejarah kalender Gregorian, yang merupakan salah satu kontribusi terbesar Gereja Allah yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, terhadap ilmu pengetahuan dan kebudayaan umat manusia.

*

Sumber artikel: Catholic Answers — The Day the Church Altered Time, oleh Matthew E. Bunson.
http://www.catholic.com/magazine/articles/the-day-the-church-altered-time

Diadaptasi oleh admin —Deo Duce—
untuk page Facebook Gereja Katolik